Selasa, 31 Maret 2009

Memudarnya ABS-SBK

***. Oleh : Nelgus Yefri, S.Sos, M.Si

Islam masuk ke Minangkabau setelah masuknya Hindu dan Budha, yang membawa pengaruh terhadap perkembangan adat. Perbenturan antara adat dan syara’ pada waktu pertama kali penyebaran Islam di Minangkabau adalah dalam bidang sosial khususnya yang menyangkut sistem kekerabatan yang menentukan bentuk perkawinan, kediaman dan pergaulan.
Adat menganut sistem matrilineal, sedangkan syara’ menganut sistem patrilineal. Dalam tempat tinggal, adat mempunyai sistem matrilokal (menetap di keluarga istri), sedangkan Islam berpolakan sistem patrilokal (menetap di keluarga suami). Walaupun adat dan syara’ bersumber dari dua budaya yang berbeda tetapi secara fundamental memiliki kesejalanan cara pandang. Adat adalah ajaran kehidupan bersifat filosofokal-kultural yang menawarkan kearifan budaya dengan berguru kepada alam dan bersifat kauniyah dengan pepatah “alam takambang jadi guru”. Syara’ secara filosofikal adalah norma dan paradigma yang berorientasi transedental dan bersifat Qauliyah yang mengacu pada alquran dan hadist.
Adat yang berdasarkan kepada alam takambang jadi guru merupakan suatu cara pendekatan kebenaran melalui pendekatan alam yang bersifat epistemologis positivistik yang dikonstruksikan melalui pengetahuan empirik dalam memahami kenyataan, dan hal ini lebih bersifat kepada hal yang duniawi dan material. Sedangkan agama lebih cenderung melihat kebenaran melalui pendekatan epistemologis relasional yang menjembatani kenyataan duniawi dengan kenyataan akherat dan menggunakan paradigma alquran. Tetapi dalam memahami kenyataan alam duniawi materil, selalu dikaitkan dengan kehidupan sesudah mati yang bersifat immateril. Pada tahap ini adat dan agama mempunyai perbedaan dalam melihat kenyataan duniawi (profan) dan ukhrowi (sakral).
Kronologis terinternalisasinya adat dan syara’ yang mempunyai paradigma berbeda dalam menjalani kehidupan ada tiga tahap yaitu: pertama; adat dan syara’ berjalan sendiri-sendiri dalam batas yang tidak saling mempengaruhi. Masyarakat Minangkabau menjalankan agamanya dalam bidang akidah dan ibadah, tetapi menyangkut kehidupan sosial adat dipakai sebagaimana kata pepatah adat bersendi alur dan patut, syara’ bersendi dalil. Kedua; salah satu pihak menuntut haknya pada pihak lain hingga keduanya sama-sama diperlakukan tanpa menggeser kedudukan yang lain. Pada masa ini adanya toleransi dari kaum agama terhadap kaum adat, sehingga kehidupan sosial masyarakat masih mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan agama seperti adu ayam dan minum tuak. Ketiga; datangnya ulama Minangkabau dari Mekkah yang menghendaki pemurnian agama (paham puritan Islam) dari unsur-unsur adat yang bertentangan dengan agama, sehingga menimbulkan konflik terbuka antara kaum adat dan kaum agama yang puncaknya keluar konsensus yang dicapai antara kedua belah pihak yang diadakan di Bukik Marapalam yaitu adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato, adat mamakai. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya antara adat dan agama telah terinternalisasi dan dijadikan standar baku untuk acuan hidup bagi masyarakat Minangkabau.
Namun saat ini adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah yang telah melekat pada identitas keminangan seseorang sudah mengalami perubahan yang mengarah pada pemudaran dalam tatanan bermasyarakat dan pola perilaku.
Tidak berfungsinya surau yang terjadi sekitar tahun 80-an merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap pemudaran aplikasi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Di samping itu pengaruh kehidupan modern yang berorientasi pada pemikiran ilmiah rasional tidak dapat dihindarkan oleh masyarakat minangkabau. Pada akhirnya ajaran agama dan adat tidak lagi menjadi acuan utama dalam menjalani kehidupan. Akibatnya seperti yang dikatakan Johnson (1994), bahwa keteraturan sosial lama hancur berantakan dan menghilang dengan cepat dan tidak jelas apa yang menggantikannya, sistem kepercayaan tradisional yang dulunya memberikan arti pada hidup dalam mengontrol dan mengarahkan perilaku, menjadi rusak oleh munculnya pendekatan ilmiah dan sejumlah ideologi baru.
Memudarnya adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah di Minangkabau tidak terlepas dari dua faktor yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam adat itu sendiri yang saling berkaitan, apabila salah satu faktor sudah berubah atau ditinggalkan maka akan mempengaruhi faktor lainnya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar adat seperti politik, ekonomi, dan sistem pemerintahan.

a. Faktor internal
1. Adat minangkabau bersifat terbuka dan adaptif.
Masyarakat Minangkabau bukanlah tipe masyarakat yang tertutup, karena lebih bisa beradaptasi dan menerima perubahan atau ide-ide baru. Hal ini terungkap dari pepatah yang mengatakan, sakali aie gadang, sakali tapian barubah, sakali musim batuka, sakali caro baganti, adat dipakai baru, kain dipakai usang. Ini menunjukkan bahwa adat itu sendiri bisa berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Adat itu sendirilah yang menyebabkan masyarakatnya tidak teguh dan kuat dalam memegang adat dan mengamalkannya dalam kehidupan. Selain itu adat minangkabau bersifat tutur bukan tulis, dalam penyampaian kepada generasi berikutnya secara lisan bukan secara tertulis/otentik. Sehingga masyarakat minangkabau sulit mencari aturan baku tentang adat yang tertuang dalam falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.

2. Hilangnya institusi surau
Surau merupakan institusi pendidikan adat dan agama bagi laki-laki minangkabau, yang merupakan aset lokal secara kultural. Ada tiga fungsi surau yaitu: pertama; surau merupakan tempat istirahat bagi kaum laki-laki pada malam hari, kedua; surau merupakan tempat belajar dan menimba ilmu terutama pendidikan agama dan adat. Ketiga; surau merupakan tempat berkumpul dan bermusyawarah dalam membahas suatu permasalahan oleh suatu kaum.
Tetapi seiring dengan berubahnya pola keluarga minangkabau dari keluarga komunal matrilineal ke keluaraga inti/batih, menyebabkan anak laki-laki tidak lagi di surau tetapi sudah di rumah orang tuanya. Akhirnya surau sebagai tempat pendidikan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sudah ditinggalkan dan beralih ke institusi pendidikan formal yang sekuler.

3. Hilangnya fungsi rumah gadang
Masyarakat minangkabau menganut sistem matrilineal yang tinggal secara berkelompok/keluarga luas (extended family) dalam sebuah rumah gadang, dan merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat. Adapun fungsi rumah gadang antara lain; pertama, fungsi pendidikan bagi perempuan. Menurut Freud sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, rumah gadang banyak berperan dalam menanamkan struktur kepribadian dasar bagi anak-anak terutama dalam pembentukan kepribadian di kemudian hari. Kedua; fungsi pengenalan hubungan sosial kekerabatan. Rumah gadang merupakan tempat untuk memperkuat dan mempererat hubungan kekerabatan keluarga, karena yang tinggal dalam satu rumah gadang terdiri dari beberapa kepala keluarga, hal ini akan memperkuat ikatan kekerabatan keluarga minangkabau. Ketiga; berfungsi sebagai sanksi sosial dan kontrol sosial. Rumah gadang merupakan tempat untuk mengontrol perilaku kaum atau suku yang ada dalam rumah gadang. Semua anggota kaum/suku yang ada di rumah gadang mempunyai hak untuk mengontrol perilaku anggotanya yang bertentangan dengan agama maupun adat. Apabila ada pelanggaran, maka sanksi dilakukan secara musyawarah dalam rumah gadang oleh niniek mamak, hal ini sesuai dengan pepatah bahwa malu surang malu sanagari, malu yang alun bisa dibagi. Keempat; fungsi politik. Rumah gadang merupakan tempat bagi legitimasi kekuasaan mamak terhadap kemenakannya. Mamak mempunyai kekuasaan yang luas dalam mengatur kemenakan-kemenakannya. Segala keputusan berada ditangan mamak, baik yang menyangkut masalah kaumnya di rumah gadang maupun hubungan dengan kaum/suku lain di luar rumah gadang. Kelima; fungsi kepemimpinan. Dalam rumah gadang perempuanlah yang memimpin dan mempunyai peran sentral, tetapi hanya yang menyangkut masalah-masalah domestik seperti pengelolaan harta warisan, mendidik anak, dll. Keenam; fungsi ekonomi. Rumah gadang tidak bisa terlepas dari keberadaan rangkiang yang biasanya dibangun disamping rumah gadang. Hal ini merupakan simbol ekonomi dan status/jaminan sosial bagi kaum/suku yang tinggal dirumah gadang tersebut. Ketujuh; fungsi kebudayaan. Rumah gadang merupakan tempat pelaksanaan perayaan adat seperti pengangkatan datuk, musyawarah adat/suku, upacara perkawinan, upacara kematian, dll.
Hasil pengamatan dilapangan, sekarang ini sudah banyak keluarga minang yang telah meninggalkan rumah gadang dan membangun rumah sendiri. Ini berarti masyarakat minang telah beralih dari keluarga luas (extended family) yang matrilineal (mamak mempunyai peran sentral) ke kelurga inti (nuclear family) yang cenderung patrilineal yaitu ayahlah yang mempunyai peran sentral. Dengan adanya perubahan ini mengakibatkan terputusnya fungsi-fungsi rumah gadang yang melunturkan pola masyarakat komunal matrilineal dan mengakibatkan semakin memudarnya adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.

4. Hilangnya fungsi mamak
Menurut Geertz bahwa dalam masyarakat matrilineal minangkabau hubungan mamak dan kemenakan merupakan hubungan yang saling mengikat. Ini sesuai dengan pepatah adat yang mengatakan anak dipangku, kemenakan dibimbiang. Hal ini berarti kewajiban mamak tidak hanya terhadap anaknya, tetapi lebih juga berkaitan erat dengan kemenakannya, karena mamak mempunyai kewajiban mengatur kaumnya, mendidik kemenakan, melindungi harato sako dan pusako agar tidak berpindah tangan. Tetapi, kenyataan sekarang yang terjadi justru sebaliknya, mamak lebih mempunyai andil dalam penjualan harato sako dan pusako yang tujuannya untuk kepentingan ekonomi dan individual. Di lain pihak hubungan ayah dan anak semakin kuat, hubungan mamak dan kemenakan semakin luntur karena telah berkurangnya peranan keluarga komunal matrilineal dengan ditinggalkannya fungsi rumah gadang.
Menurut Firman dalam disertasinya, hilangnya fungsi mamak disebabkan oleh beberapa hal yaitu; pertama; adanya kesempatan mamak bekerja di luar sektor pertanian, sehingga mempunyai penghasilan yang dapat diberikan untuk anak isteri. Kedua; adanya keinginan mamak untuk mendapatkan status sebagai sumando mamak rumah artinya sumando yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Ketiga; adanya perubahan sistem pemerintahan dari nagari sebagai kesatuan adat dan pemerintahan terkecil di minangkabau menjadi desa, sehingga posisi mamak mulai goyah untuk menyelesaikan permasalahan kaumnya. Keempat; adanya budaya merantau yang mengakibatkan longgarnya ikatan mamak dan kemenakan. Ketujuh; faktor ekonomi yang menyebabkan mamak membagi-bagi harta pusaka yang dulunya merupakan kepemilikan bersama (komunal matrilineal) menjadi kepemilikan individu.


5. Hilangnya fungsi tanah ulayat sebagai pusako tinggi dalam kaum/nagari
Tanah ulayat/pusako tinggi merupakan alat pengikat bagi keluarga komunal matrilineal yang ada di minangkabau mempunyai dua fungsi yaitu; sebagai social asset dan economic asset. Fungsi social asset adalah sebagai pengikat kaum/suku. Dengan adanya tanah ulayat/pusako tinggi, maka suatu kaum merasa terikat satu sama lain, dan setiap suku berhak mengontrol perilaku anggota sukunya, sehingga kontrol sosial maupun sanksi sosial masih dipertahankan. Fungsi economic asset adalah dengan adanya tanah ulayat maka dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga komunal matrilineal, karena dapat menjamin kehidupan keluarga komunal matrilineal secara turun temurun.
Tetapi sekarang tanah ulayat sudah diperjualbelikan, sehingga hilangnya fungsi tanah ulayat, akibatnya privatisasi tanah semakin berkembang di nagari-nagari Minangkabau.. apabila tanah ulayat sudah kehilangan fungsi, maka keterikatan secara komunal matrilineal mulai hilang, hal ini mengakibatkan kontrol sosial dan sanksi sosial mulai melemah dan longgar, dan aplikasi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah semakin memudar.

6. Berubahnya pola kepemimpinan
Pola kepemimpinan di Minangkabau adalah pola kepemimpinan tradisional, yaitu pola kepemimpinan adat dan ulama. Pemimpin adat dan ulama merupakan pemimpin yang dihormati dan dihargai dalam masyarakat serta menjadi agent of education dalam pendidikan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Tetapi pola kepemimpinan ini perlahan berubah dan digantikan oleh pola kepemimpinan formal rasional yaitu birokrasi pemerintahan. Diberlakukannya UU Nomor 5 tahun 1979, yang merubah pemerintahan nagari ke pemerintahan desa. Walinagari dipilih oleh masyarakat nagari secara musyawarah dan mufakat, sedangkan pemimpin desa merupakan pemimpin yang legal-rasional, yang dipilih oleh masyarakat melalui pemungutan suara. Sehingga hal ini menurut Naim mengakibatkan perubahan nilai kepemimpinan dari egaliter-demokratis-horizontal-solidaritasisme menjadi hirarkis-patrinalistik-vertikal-individualisme.

7. Budaya merantau
Menurut Muchtar Naim merantau telah ada sejak abad keenam. Merantau mencakup enam kriteria yaitu: pertama; meninggalkan kampung halaman, kedua; dengan kemauan sendiri, ketiga; untuk jangka waktu lama, keempat; dengan tujuan mencari penghidupan (mambangkik batang tarandam), kelima; dengan maksud kembali pulang, keenam; merantau merupakan lembaga sosial yang telah membudaya seperti dispiritkan oleh adat Minang yaitu; karatau madang dihulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di kampuang paguno balun. Sementara disisi lain pepatah juga mengatakan dima bumi dipijak, disitu langik dijunjuang. Dengan adanya budaya marantau maka filosofi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah mulai ditinggalkan, karena adat di tempat marantaulah yang dipakai. Merantau juga mengakibatkan peninggalan terhadap adat, karena adanya budaya egaliterian. Merantau juga merupakan agent of cultural transmission yang maksudnya merantau merupakan penyalur arus budaya dari asal ke rantau dan dari rantau ke asal. Akibatnya terjadilah pemudaran terhadap adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Dengan semakin banyaknya mamak yang merantau, maka mengakibatkan kontrol sosial melemah. Disinilah letak “menduanya” adat minangkabau, dimana secara adat laki-laki minangkabau dispiritkan untuk merantau, tetapi disisi lain seorang mamak juga harus bertanggungjawab kepada kaum dan kemenakannya.

b. Faktor eksternal
1. Faktor politik dan pemerintah
Pemerintah dengan UU No. 5 tahun 1979, tentang pembentukan desa yang berlaku di seluruh nusantara termasuk merombak nagari menjadi desa. Di Minangkabau pemerintah terendah adalah nagari yang menyatu dengan pimpinan adat nagari. Seorang wali nagari menjabat dua fungsi yaitu sebagai kepala pemerintahan terendah dan sebagai ketua adat dalam salingka nagari. Status dari nagari-nagari bersifat otonom yang mempunyai ketentuan adat tersendiri dan berbeda dengan nagari lainnya atau disebut juga dengan adat salingka nagari. Nagari merupakan lembaga sosial politik tertinggi yang tidak tergantung pada nagari lainnya. Adanya campur tangan pemerintah yang ingin “menguasai” masyarakat adat mengakibatkan terjadinya disorientasi formulasi adat yang sebelumnya telah mapan. Menurut Niel J Smelser, dalam bidang politik sistem kewibawaan suku dan daerah yang sederhana digantikan dengan sistem pemilihan umum, kepartaian, perwakilan dan birokrasi, akibatnya masyarakat tradisional lokal memudar. Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah yang merupakan sistem kewibawaan daerah dalam mengatur pola perilaku dan kehidupan masyarakat nagari tergantikan dengan peraturan legal-formal yang bersifat rasional.

2. Faktor Ekonomi
Ekonomi merupakan hal yang paling krusial dalam kehidupan masyarakat modern masa kini. Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan kekinian tidak terlepas dari perhitungan secara ekonomis. Hubungan apapun yang terjalin tidak terlepas dari kalkulasi untung rugi untuk merasionalkan tindakan sosial. Pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah merupakan pembangunan yang yang hanya menitikberatkan pada faktor ekonomi dan cenderung mengabaikan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Sehingga masyarakat minnagkabau yang merupakan masyarakat komunal matrilineal yang menitikberatkan pada kekeluargaan beralih menjadi hubungan yang tidak terlepas dari perhitungan ekonomis materil, sehingga cenderung berkembang kearah masyarakat kapitalis. Kapitalisme secara perlahan mendorong perkembangan kebudayaan menjadi kebudayaan yang homogen dalam masyarakat modern. Depersonalisasi hubungan sosial, spesialisasi ilmu pengetahuan dan kalkulasi keuntungan merupakan ciri umum yang dapat diidentifikasi dalam karakter budaya kapitalisme. Pada tingkat ini, adat dan agama tidak akan berperan dalam kehidupan manusia. Agama tidak lagi menjadi bagian dari ruang publik, tetapi sudah bergeser menjadi ruang privat, serta tidak lagi menjadi standar baku dalam menjalankan kehidupan.

3. Faktor pendidikan
Menurut Schoorl, pendidikan mempunyai peran yang paling menentukan dalam memahami dan memperbaiki fungsi masyarakat modern. Sedangkan menurut Weiner, pada keluarga modern, pendidikan anak-anak cenderung diserahkan pada sistem pendidikan formil yang sekuler. Akibatnya pendidikan adat dan agama mulai ditinggalkan. Dengan berkembangnya pendidikan terutama pendidikan formal sekuler, maka akan terjadi redefinisi dalam menjalani kehidupan, termasuk redefinisi tentang adat dan teologi. Akibatnya pendidikan surau yang merupakan pendidikan transendental tentang dunia akherat tidak lagi menjadi acuan, digantikan dengan pendidikan formal sekuler yang mengutamakan pendidikan duniawi.
Daniel Lerner menjelaskan bahwa, memudarnya masyarakat tradisional disebabkan karena masyarakat telah meninggalkan tata hidup tradisional dan beralih kepada kehidupan yang sekuler. Hal ini dipengaruhi oleh meningkatnya pendidikan yang menyebabkan terjadinya mobilitas pribadi dan mobilitas sosial, yang akhirnya masyarakat memodernisasikan diri.

***. Penulis Adalah Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat, Kabupaten Solok Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar